Hink, seperti aku dalam Palung Laut..

December 8, 2009 at 3:23 Z | Posted in worry with single "R" | 87 Comments

Namaku Wori dan ini adalah buku harianku yang ku beri nama “Worry With Single ‘R'”

“Cinta.” Apa itu ?
Entahlah,
tapi aku sedang merasakan sebuah rasa yang megah.
Sebuah rasa di mana tak bisa ku cicil.
Tak bisa ku kendalikan.
Otak tak lagi berfungsi,
dan hati menjadi satu-satunya tuan bagi raga ini.

Dia laki-laki, yang saat ku melihatnya, aku menemukan dunia.
Saat berdekatan dengannya, ku temukan surga.
Saat dalam dekapannya, ku temukan kenyamanan rahim.
Saat dia pergi sesaat, ku temukan alam kubur,
dan saat aku tau dia bukan milikku lagi, ku temukan neraka.

Palung Laut nama lelaki itu.
Seperti namanya, dia memang jebakan.
Dia seperti rahasia.
Aku tau, dan aku mau.
Bukan…
Bukan aku yang mau, tapi hatiku.
Otakku tahu dia bukan laki-laki yang baik untuk hatiku,
tapi hatiku menolak digurui.

Aku melakukan apapun yang Palung mau,
dan Palung mendapatkan apapun yang aku punya.
Tapi itu pun, tak cukup membuatnya tetap ada di sampingku.
Dia pergi,
atau menghilang,
atau meninggalkan ku.

Sepeninggal Palung, seorang laki-laki datang, dan terus berusaha mendekatiku.
Dia Hink.
Hink Seorang laki-laki, yang saat dia melihatku, dia menemukan dunia.
Saat berdekatan denganku, dia temukan surga.
Saat dalam dekapanku, dia temukan kenyamanan rahim.
Saat aku pergi sesaat, dia temukan alam kubur,
dan saat dia tahu aku bukan miliknya lagi, dia temukan neraka.

Hink, laki-laki yang mau melakukan apapun yang aku mau,
dan aku mendapatkan apapun yang dia punya.
Tapi itu pun tak cukup membuatku tetap ada di sampingnya.
Aku pergi,
atau menghilang,
atau meninggalkannya.

Sekarang aku tahu, mengapa Palung pergi meninggalkanku.
Aku tidak lagi menghakiminya.
karena aku sadar, kesalahanku lah, yang membuat dia pergi.
Keegoisanku.

Aku hanya perduli pada apa yang aku rasakan.
Aku cinta dia.
Aku menunjukkan semua yang aku rasa.
Aku mempertontonkan bentukku setelanjang mungkin.
Bagiku, yang penting Palung tahu, betapa besar gelombang cintaku.

Hink, juga mencintai aku seperti pantai landai yang di terjang Tsunami. Sebagaimana aku mencintai Palung.
Memang rasa itu sangat besar, sangat mewah, sangat megah,
tapi pantai landai tak pernah mampu menahan gelombang sebesar Tsunami.

Saat aku mengaku pada Palung, bahwa aku punya rasa yang besar padanya, yang aku pikirkan seharusnya bagaimana dengannya. Bagaimana membuat Palung mencintaiku, bukan bagaimana rasaku dirasakan palung. Aku terus-menerus menjejali Palung dengan rasa yang meledak-ledak di dalam dadaku.

Aku menolak menggunakan strategi, menurutku ini bukan perang. Apa yang aku mau hanya menumpahkan kendi-kendi “rasaku” yang terus-menerus meluber, tanpa memikirkan apakah Palung punya tempat untuk menampung rasaku.

Saat pergi dari Hink, aku hanya bisa berdoa, semoga Hink merasakan rasa sebesar rasaku pada Palung.
Mungkin sama seperti doa Palung untukku, saat dia pergi.